Wednesday, July 18, 2012

The Drummer

“saya Herman, sampeyan dari mana?” itu sapaan yang menyambutku ketika di suatu pagi menjelang subuh aku memasuki Masjid Agung Magelang, sapaan dari seseorang bertubuh kecil, kurus, berambut putih dengan senyum yang ramah dan lebar hingga nampak beberapa giginya sudah hilang. Ya, dia adalah Herman sang penabuh bedug masjid ini yang selalu setia menunggu di depan pintu masjid sebelum adzan dikumandangkan, dan setelah selesai menabuh bedug dia tetap setia menunggu di samping bedug sampai iqomah dikumandangkan. Kebiasaan di masjid ini, bedug ditabuh lagi pada saat iqomah.

Di mataku Herman orang yang ramah, lugu dan suka bergaul, sekali waktu jika kami warga pusdiklat duduk-duduk di teras masjid setelah shalat, dia suka bergabung dan sedikit ngobrol, walaupun seringkali tidak jelas apa yang dia ucapkan kerena keburu diselingi tawanya yang polos....dan satu lagi tentang Herman, dia agak pelupa... beberapa hari setelah perkenalan itu, beberapa kali dia menyambutku dengan sapaan dan pertanyaan yang sama, “saya Herman, sampeyan dari mana?”..kalo aku jawab “kok sudah lupa lagi..” dia biasanya menjawab sambil tertawa “...oh iya, sampeyan orang keuangan ya..”.

Seminggu sudah aku tinggalkan Magelang, di saat-saat waktu shalat tiba, terutama saat subuh, maghrib dan isya, seringkali aku ingat suasana masjid Agung Magelang, lengkap dengan bayangan senyum Herman di depan pintu, good luck Herman... sepotong syair dari Jon Bon Jovi ini mungkin pas untukmu .....

Bang a drum for tomorrow
Bang a drum for the past
Bang a drum for the heroes that won't come back
Bang a drum for the promise
Bang a drum for the lies
Bang a drum for the lovers and the tears they've cried
Bang a drum, bang it loudly
Or as soft as you need
But as long as my heart keeps on bangin'
I got a reason to believe...

Thursday, July 12, 2012

Alun-alun Magelang

Hampir 6 minggu aku berada di kota Magelang, karena harus mengikuti suatu diklat. Tidak seperti layaknya lokasi Pusdiklat yang biasanya di pinggir kota, Pusdiklat Magelang ini tepat berada di tengah-tengah kota, di pusat peradaban kota ini, tepatnya di sisi utara alun-alun kota Magelang.

Sekeliling alun-alun dipenuhi berbagai bangunan, di sisi barat terdapat Masjid Agung dan sederet toko-toko kecil, di sisi utara selain Pusdiklat kami ada toko serba ada Trio Plaza dan Bank BCA, di sisi timur ada toko serba ada Gardena, Matahari dan Kantor Pos, di sisi selatan ada klenteng, kantor polisi dan Bank Jateng. Jika langit cerah, kita dapat menyaksikan deretan 5 gunung yang mengelilingi kota magelang di latar belakang gedung-gedung yang aku sebutkan tadi, di antaranya Merapi, Merbabu, Sumbing dan entah yang dua lagi, aku lupa namanya. Dan satu lagi yang unik di sini, di ujung barat laut alun-alun ini berdiri gagah menara air milik PDAM setempat, rasanya jarang sebuah menara air berdiri di jantung kota.

Alun-alun Magelang sangat menarik, terutama bagiku yang entah sudah berapa puluh tahun tidak menemui suasana alun-alun kota seperti ini. Suasana yang damai, ceria dan manusiawi. Kesan damai ini muncul mungkin karena gak ada mall modern yang tampak kaku dan congkak seperti di kota besar pada umumnya. Alun-alun ini juga masih menjadi ruang publik yang nyaman dan ramah. Sepanjang waktu selalu di isi kegiatan warga kota yang beraneka rupa, sebagian bocah sering nampak bermain bola, main layangan atau hanya berlari-larian. Beberapa manusia remaja atau dewasa duduk-duduk santai atau sambil menyantap jajanan yang banyak beredar. Seringkali setelah shalat maghrib di Masjid Agung, kami warga Pusdiklat sering menghabiskan waktu untuk menunggu shalat isya sambil nongkrong di seputar alun-alun itu, menikmati suasana damai dan ceria itu.

Khusus di malam hari, bagian selatan alun-alun ini dipenuhi deretan angkringan yang menyediakan nasi kucing dan minuman hangat, biasanya pembeli duduk santai di atas tikar di hamparan rumput. Di bagian utara sederet warung tenda siap memenuhi selera makan kita dengan berbagai macam makanan.

Jika sabtu malam tiba, suasana alun-alun semakin meriah, puluhan warga kota dengan berbagai aktivitas tumpah di alun-alun. Sebagian remaja membentuk kelompok-kelompok dengan ekspresi keremajaan mereka masing-masing, sebagian ber skate board, sepeda free style atau tarian semacam tapping... seru, meriah.

Semoga saja suasana manusiawi semacam ini akan tetap bertahan di kota ini sampai berpuluh tahun mendatang, semoga saja wajah alun-alun tidak berubah menjadi sebuah taman semata sementara kegiatan warganya beralih ke mall yang sungguh tidak menarik.

Magelang, Juli 2012

Friday, August 5, 2011

Iron Maiden The Final Frontier, Kembalinya Sebuah Pertemanan

Sejak berakhirnya era klasik Iron Maiden, yaitu era antara album pertama sampai dengan album fear of the dark (maaf kalo saya bikin pengkotakan sendiri), saya kurang mengenal Iron Maiden, atau dengan kata lain saya telah memutuskan “hubungan pertemanan” di antara kami. Pemutusan ini bukan tanpa alasan, musik Iron Maiden sejak Bruce pergi sudah tidak bisa saya nikmati lagi, meskipun bagi saya dua album terakhir dengan Bruce di periode itu (No Prayer... & Fear..) tidak sehebat album-album sebelumnya, datar-datar saja tetapi masih terasa ke-iron maiden-annya. Kemudian ketika Bruce & Adrian balik ke Iron Maiden di album Brave New World (2000) saya sempat mencicipi sedikit, tapi kok rasanya aneh dan saya pun mundur...

Karena latar belakang itulah, maka pada awalnya saya memandang sebelah mata terhadap album baru iron maiden ini dan gak tertarik sama sekali. Namun setelah baca tulisan di berbagai milis, begitu banyak kawan yang mengagumi album ini, sayapun tergoda untuk membelinya, dengan pikiran kalaupun nanti gak cocok gampang dilego lewat kaskus....

Kalau dilihat susunan lagunya, sangat mencengangkan, 5 dari 10 lagu berdurasi di atas 8 menit, Wow... sepanjang ingatan saya, pada era klasik mereka hanya punya 3 lagu di atas 8 menit, itupun tersebar di 3 album yang berbeda... ini cukup bikin penasaran saya.
Lagu pertama: Satellite 15.... the Final Frontier, dibuka dengan drum, gitar dan bass yang bersaut-sautan kemudian di timpa vocal bruce yang lebih mirip baca puisi.... aneh, dan ini berlangsung sampai empat setengah menit.... hampir saja ini menyurutkan langkahku, untung setelah itu Iron Maiden yang saya kenal segera tampil... jreng, empat menit berikutnya membuat pikiran saya melayang ke jaman Powerslave dan Somewhere in Time...

Lagu berikutnya, El Dorado juga sangat Iron Maiden.... suara bass Steve, seperti biasa, tidak kenal lelah terus “menari-nari” sepanjang lagu, komposisi yang indah, tak heran kalo lagu ini berhasil mendapat Grammy Awards (info dari Wikipedia).

Lagu-lagu berikutnya cukup asyik di nikmati, membawa pikiran saya kembali ke jaman Sevent Son sampai Fear of The Dark... hanya saja tiga lagu berdurasi panjangnya: Isle of Avalon, The Talisman dan The Man Who Would be King, rasanya terlalu panjang dan sia-sia, panjang durasinya tidak membawa kenikmatan yang sempurna sebagaimana Rime of The Ancient Mariner atau Alexander the Great. Bisa jadi perasaan ini muncul karena keseringan dengar lagu-lagu panjang milik Dream Theater, tapi entahlah.... Sedangkan lagu terakhir, When The Wild Wind Blows, meskipun panjang juga tetapi asyik dinikmati, irama kalem di awal lagu begitu mengalir... diteruskan nafas rock a la Maiden.... solo gitar yang ciamik di tengah dan di akhiri dengan nada-nada kalem kembali, tak terasa 10 menit 59 detik telah berlalu.

Secara keseluruhan album ini cukup bagus bagi orang-orang seperti saya yang telah lama tidak mengenal Iron Maiden lagi, dengan album ini kami seakan-akan kembali berteman dan menikmati kebersamaan yang pernah hilang, album ini sanggup melambungkan jiwa saya ke suasana yang (mungkin) selama ini saya rindukan, walaupun tidak sampai meledakkan jiwa ini dalam sukacita yang mega sempurna.

Mungkin satu hal yang agak mengganjal, perpaduan permainan tiga gitaris tidak terasa bagi saya, sepertinya dua atau tiga gitaris hanya menghasilkan sesuatu yang beda tipis saja, entahlah kalau kuping saya memang kurang peka. Namun satu point sempurna untuk Nicko yang sepertinya tidak pernah bertambah tua, pukulannya masih gawat, seperti 25 atau 30 tahun lalu.
Dari beberapa artikel yang pernah saya baca, warna “back to classic” ini sudah mereka mulai di album sebelumnya, A Matter of Life and Death (AMOLAD) tahun 2006, jadi sepertinya pertemanan kembali kami ini perlu diteruskan ke AMOLAD.... kita lihat saja nanti.

Tulisan ini pernah dimuat dalam TUCzine #6, 4 Agustus 2011 (link: http://www.mediafire.com/?n8y91ms1xf1asly), TUCzine adalah zine milik komunitas penggemar musik underground di DJP - Tax Underground Community)

Sunday, September 27, 2009

Khan - Space Shanty

Tulisan berikut ini secara tehnis tidak bisa dianggap sebagai review album, hanya sekedar curahan hati berkaitan dengan album ini.

Mungkin tidak banyak penggemar music rock, terutama generasi kini, yang mengenal band ini. Maklum band ini hanya muncul sesaat dan bikin satu album bagus kemudian bubar. Dan mungkin juga tidak banyak yang tahu kalo nama band ini terinspirasi dari seorang Indonesia. Ceritanya begini, tahun 1970, Steve Hillage sedang dalam perjalanan dari Australia mau mudik ke Inggris, saat itu pesawatnya harus transit di Bandara Kemayoran Jakarta (saat itu masih menjadi Bandara Internasional). Ketika dia sedang melamun di ruang tunggu bandara, tiba-tiba seseorang (yang ternyata seorang wartawan dan penggemar Steve Hillage) menyapa dengan nada suara macam orang terkejut “hey, ini Steve Hillage khan?... betul khan?” si Steve pun bengong dan segera si wartawan menyadari kesalahan berbahasanya (maklum kaget, karena tidak menyangka akan ketemu orang yang diidolakannya) dan menswitch bahasanya ke English.. akhirnya mereka berdua larut dalam perbincangan seru. (namun sayang, tulisan siwartawan tentang pertemuan dengan Steve Hillage itu tidak pernah dimuat di majalah tempat dia bernaung, karena menurut sang redaktur sosok Steve Hillage tidak popular di masyarakat Indonesia saat itu).

Kembali ke Steve Hillage, sesampainya di Inggris dia ketemu sama teman-temannya: Nick Greenwood (bass guitar), Dick Henningham (organ, yang kemudian diganti Dave Stewart) dan Pip Pyle (percussion, yang kemudian diganti Eric Peachey), mereka sepakat bikin band. Konsep musik sudah terbentuk, beberapa komposisi juga sudah tercipta hanya tinggal nama band yang belum ada. Si Steve yang ingat pertemuan dengan wartawan di Kemayoran itu mengusulkan nama Khan, sampai saat itu Steve merasa bahwa imbuhan khan yang diucapkan wartawan itu artinya sama dengan San dalam bahasa Jepang. Nick Greenwood pun bertanya: ”apa artinya brur?”, “gak tahu ya, tapi feeling gua ada nuansa kehormatan atau keagungan di kata itu man...” jawab Steve. Merekapun akhirnya setuju dengan nama itu..... Hallo, serius amat boss. I’m Just Kidding.... he he he, aslinya akupun gak tahu sejarah nama band ini, itu tadi cuman ngelantur gak karuan, maklum otakku agak goyang sedikit pagi ini.

Space Shanty ini salah satu album yang butuh penantian 2 dekade bagiku untuk memilikinya, lebih dari 20 tahun yang lalu aku pernah menyimak album ini dari kaset milik teman, produksi monalisa atau apple, aku lupa. Yang pasti saat itu aku sangat terkesan dengan musiknya yang indah membuai kalbu. Setelah itu, setiap ada kesempatan aku coba cari kaset/CD-nya diberbagai tempat, tapi hasilnya Nihil. Kalaupun ada di internet, harganya sangat tidak bersahabat... sampai akhirnya beberapa bulan lalu ada seorang anggota milis m-claro yang menjual CD album ini dalam kondisi baru dan harganya juga sangat membumi. Langsung aku kontak beliau, Alhamdulillah barang masih free, langsung deal dan aku segera ke bank buat transfer. Dua hari kemudian, CD Khan-Space Shanty dalam kondisi masih tersegel rapi sudah ada di tanganku, sungguh penantian yang cukup lama.

Khan-Space Shanty ini musiknya sangat nuansatik tahun 70-an, apalagi jika kita simak dalam ruangan remang cenderung gelap dan mata terpejam, maka alunan gitar Steve dan organ Dave yang sangat indah akan menghempaskan memori anda ke ruang-ruang ingatan tahun 70-an. Tidak mustahil di depan anda akan terbentuk image sebuat TV hitam putih sedang menayangkan gambar Pak Harto yang masih kelihatan muda dan segar bugar sedang meresmikan proyek ini itu atau gambar Ateng dan Ishak sedang kejar-kejaran kocak… atau silahkan anda pilih image 70-an sesuai selera, pasti cocok dengan suara musik Khan yang sedang terdengar. Dijamin!

Nah, betul kan yang aku tulis di awal, tulisan ini sama sekali bukan review yang memadai untuk album ini, jadi mohon maaf bagi anda yang sudah kadung membacanya dan tidak memperoleh review yang diharapkan.

Thursday, September 24, 2009

Selamat Datang Kepala 4

Akhir tahun ini usiaku genap 40 tahun, sudah tua juga ternyata... setidaknya ada 3 peristiwa kecil belum lama ini yang membuatku teringat akan ketuaanku ini.

Pertama, sekitar bulan Mei lalu, aku sedang mengikuti tugas diklat di Jakarta. Malamnya aku manfaatkan untuk jalan-jalan ke Sabang & Sarinah Thamrin, melihat-lihat koleksi CD di 2 toko favoritku sewaktu masih tinggal di Jabotabek dulu. Dari Blok M aku naik busway ke arah kota. Ketika aku memasuki bis itu, semua kursi udah terisi dan dengan santai aku bergerak ke arah belakang, mencari posisi berdiri paling nyaman, bagiku berdiri di bis bukan masalah... masih kuat kok.

Belum sampai halte masjid Al-Ashar, ada seorang anak muda yang tadinya duduk di kursi belakang mencolek tanganku dan berkata “silahkan, bapak duduk saja”... setengah kaget aku pun mengucapkan terima kasih dan segera menempati kursi yang di maksud. Sambil duduk aku jadi berpikir, apa aku sudah nampak sedemikian renta sehingga anak muda itu menganggap aku termasuk kategori yang mendapat prioritas tempat duduk di busway (selain orang cacat dan ibu hamil)?

Kedua, sekitar Juli, kejadiannya di kantin kantor. Ketika aku buka dompet buat bayar makan siang, si pelayan kantin yang sempat melihat foto istri & anakku di dompetku berkomentar “itu anak-anak ‘ta?” (‘ta kependekan kata kita, dalam dialek Makassar kata “kita” adalah sebutan sopan bagi lawan bicara, meskipun tunggal)... hah?? Apakah tampangku sedemikian tua sehingga pantas jadi bapak buat istriku yang sebetulnya hanya 6 bulan lebih muda dariku?

Ketiga, yang ini juga terjadi di Jakarta, bulan lalu ketika ada tugas. Sore itu aku bermaksud ke Aquarius Pondok Indah, dari Blok M naik metro mini 72. Menjelang tempat tujuan aku segera berdiri dan bergerak ke arah pintu belakang. Di pintu, si kenek menegurku dengan pertanyaan “turun di mana be?” be maksudnya babe… bah, padahal kemaren-kemaren para kenek ini masih menyapaku dengan sebutan “bang”....

Tiga peristiwa kecil itu telah membuatku merenungkan usia yang tidak muda lagi dan mencoba instropeksi diri, aku hampir memasuki dasawarsa ke lima dalam hidup... apa yang telah aku capai sampai saat ini?

Aku hanya bisa berharap agar semangat hidupku tidak akan pernah surut seiring bertambahnya usia ini. Mungkin benar, dan semoga saja benar, kata orang bahwa Life Begins At 40.... jadi masih banyak yang akan bisa digapai dan nikmati di masa yang akan datang, kan ini baru permulaan.

Usia boleh bertambah, yang pasti harus tetap “keep on Rocking & keep on Progging...”

Tuesday, September 15, 2009

Sepuluh Hari Terakhir

Tak terasa, bulan Ramadhan tahun ini segera berlalu. Hari ini sudah sampai pada hari ke 26. Seperti biasanya, pada sepuluh hari terakhir sebagian orang memanfaatkan malam-malamnya (terutama malam-malam ganjil) untuk I’tikaf dan beribadah di masjid, demi mengejar “malam seribu bulan”, tak terkecuali aku.

Beruntung tempat tinggal kami di Makassar tidak jauh dari masjid Nurul Iman Kantor Telkom Makassar, di ujung selatan Jl AP. Pettarani. Sehingga tanpa merasa berat aku bisa ke masjid tersebut di tengah malam. Bagusnya di masjid ini kehidupan beribadah sangat subur, di malam-malam ganjil selalu ada kegiatan sholat malam berjamaah, bahkan sampai 3 shaf (kurang lebih 100 orang - pria & wanita) dan diteruskan ceramah seputar pelaksanaan ibadah. Kegiatan ini berlangsung sampai dengan saat makan sahur pukul 03:00 WITA. Sungguh indahnya malam bulan Ramadhan.

Namun keindahan bulan Ramadhan ini, bagi kami yang sedang berdiam di masjid, sering terganggu oleh bisingnya suara sebagian orang yang melakukan “ibadah” yang lain, mereka menyebutnya “sahur on the road”. Sahur on the road (mungkin juga ada di kota lain) adalah serombongan orang bersepeda motor, bahkan kadang sampai puluhan, keliling kota layaknya kampanye partai politik menjelang pemilu jaman orde baru, lengkap dengan suara gas yang digeber habis-habisan. Konon kata orang tujuan mereka adalah membagikan makan sahur untuk orang-orang di pinggir jalan. Mungkin ini sudah tradisi di Makassar, setidaknya selama 3 kali bertemu bulan Ramadhan di sini, selalu kutemui kegiatan seperti ini.

Malam 23 kemaren, yang kebetulan pas malam minggu, banyak banget rombongan sahur on the road yang lewat jalan AP Pettarani ini, sampai-sampai aku harus menunggu 5 menit untuk nyeberang (kebetulan rumah kami dan masjid dipisahkan jalan ini). Selama dalam penantian ini, ada 2 rombongan yang lewat, satu dari sebuah sekolah tinggi “abal-abal” - anak muda semua, maklum mahasiswa dan satu lagi rombongan yang motornya semerk dan sejenis, mungkin dari club motor merk itu, yang ini malah kebanyakan orang-orang berumur 40-an ..... hah?

Yang aku tak habis pikir, kenapa tujuan sebaik itu di sampaikan dengan cara yang terkesan hura-hura dan mengganggu orang lain yang mungkin butuh ketenangan di malam itu.

Dan aku jadi berangan-angan, seandainya tugas membagikan makanan itu cukup diwakili 2 atau 3 orang saja, bisa dibayangkan berapa banyak biaya bahan bakar yang bisa dihemat dan kalau hasil penghematan itu diwujudkan dalam bentuk makanan, tentu lebih banyak orang yang kebagian makan sahur.... atau seandainya tugas itu cukup diwaklili 2 atau 3 motor saja dan yang lain dijual, mungkin dananya tidak hanya cukup untuk memberi makan kaum dhuafa tapi cukup juga untuk biaya sekolah anak-anak dhuafa itu.... (he he he, ini hanya mimpi sambil nunggu beduk buka)

Thursday, September 10, 2009

Nonton Metallica 1993

Suatu hari enam belas tahun lalu, tepatnya 10 April 1993, bisa jadi merupakan hari yang tak terlupakan dalam hidupku. Hari itu aku nonton konser Metallica di Lebak Bulus. Pada masa itu jarang sekali ada band rock papan atas dunia mau manggung di Indonesia, mungkin itu yang membuat konser itu begitu istimewa - setidaknya bagiku.

Waktu itu aku sudah bekerja di Mojokerto, Jawa Timur. Tiket konser kelas festival (masih berupa voucher) aku beli di sebuah toko kaset di Tunjungan Plaza Surabaya sebulan sebelum hari konser.

Tanggal 9 April, hari Jumat, sehabis jumatan aku langsung kabur ke Surabaya setelah ijin ke atasanku dengan alasan ada kepentingan keluarga (keluarga besar metalhead..he..he..he), sebagai catatan: jaman itu hari sabtu masih merupakan hari kerja. Dari Surabaya langsung cari bis malam tujuan Jakarta.

Sampai Jakarta masih pagi buta, aku langsung menuju Blok M, masjid Faletehan. Sehabis sholat subuh masih sempat numpang tidur dan mandi di masjid itu. Tepat jam sepuluh, jam buka toko, aku langsung menukarkan voucher dengan tiket konser… begitu tiket di tangan, panggung Metallica serasa sudah di depan mata. Untuk killing time, aku berburu kaset dan CD yang sulit aku temukan di Jawa Timur. Karena akhirnya barang bawaan jadi bertambah dan dengan pertimbangan kepraktisan, aku putuskan untuk mengirim semua barang termasuk tas, peralatan mandi dan baju yang dipakai semalam ke Mojokerto lewat pos, hingga saat itu hanya pakaian yang menempel di badan saja yang tersisa.

Setelah dhuhur, karena gak ada kegiatan lagi, aku putuskan untuk menuju venue… stadion Lebak Bulus. Sampai sana ternyata sudah banyak teman sejawat, berkerumun dan sudah membentuk garis antrian. Menjelang sore, jam 4 atau 5, kami sudah diperbolehkan masuk setelah melewati pemeriksaan ketat pihak kepolisian, sebagian, termasuk aku, menjalani pemeriksaan bau mulut, mungkin untuk mendeteksi minuman beralkohol.... untung gak makan jengkol hari itu.

Di dalam stadion, panggung masih kosong, kami pun hanya duduk-duduk di rumput sambil nunggu jam pertunjukan. Untung di saat itu aku ketemu teman lama yang aku kenal ketika nonton Sepultura bulan Juli 1992 di Surabaya sehingga masa menunggu tidak terlalu menjemukan.

Pertemuan kembali ini lucu juga prosesnya, pertama kami cuma saling lihat, trus kata konfirmasi yang muncul dari mulutku “sepultura?” dia menjawab “iya... Surabaya kan?”... ha ha ha... seperti bahasa sandi 2 orang agen rahasia saja, teman yang satu ini memang tidak gampang dilupakan karena postur tubuhnya yang mirip sekali Diego Maradona. Akhirnya kami ngobrol kesana kemari seputar musik yang kami sukai ini, termasuk isu-isu konser yang akan datang (saat itu memang sedang santer isu Anthrax akan datang ke negeri ini setelah seorang penyiar radio di Surabaya sempat berwawancara via telepon dengan Frank Bello, si Franky ini bilang dia punya tante yang kawin sama orang Indonesia, makanya dia ingin sekali datang dan melihat Indonesia).

Menjelang mahrib, belum ada tanda-tanda kehidupan di atas panggung, saat itu kami sempat melihat asap tebal di luar stadion dan para kru bule berjajar di pinggir panggung sambil melihat ke arah luar stadion dengan wajah-wajah yang menunjukan kecemasan. Sedangkan kami yang gak bisa melihat apa yang ada di balik tembok hanya bisa menduga-duga apa yang sedang terjadi di luar.

Akhirnya jam 8-an pertunjukan dimulai dengan penampilan Rotor, yang disambut adem ayem oleh penonton, seingatku suara Djodi si vokalis gak kedengaran sama sekali sedangkan suara gitar sangat dominan... sempat kuatir juga jangan-jangan sound seperti ini juga akan terjadi di pertunjukan Metallica nanti.

Akhirnya Metallica pun tampil… jrengggggg… aku gak ingat urutan lagu-lagu yang dibawakan.. yang pasti lagu-lagu yang asyik buat lonjak-lonjak dan ber-head banging dimainkan semua… enter sandman, harvester of sorrow, seek and destroy, sad but true, master of puppet dan lain-lain, kekuatiranku terhadap sound system tidak terbukti, soundnya oke punya. Rasanya energi begitu berlimpah di stadion itu dan kami begitu larut di dalam lautan energi itu. Aku udah nggak tahu lagi kemana si maradona, rupanya karena sangat menikmati suasana sampai nggak sadar kalo kami sudah saling terpisah.

Selesai pertunjukan, di luar stadion aku baru menyadari apa yang telah terjadi, masih aku lihat puing-puing berasap dari bekas warung yang tadi siang masih ada di depan stadion. Polisi sudah berjajar membentuk pagar betis, keluar stadion kami diarahkan ke kanan (ke arah Pondok Indah), sesampai di perempatan arteri di arahkan belok kanan ke arah Fatmawati, itu pun gak boleh lewat jalan raya tapi tanah kosong di antara dua jalan arteri itu (yang sekarang sudah jadi jalan toll) dan sepanjang perjalanan kami diharuskan lari-lari - gak boleh jalan… ada beberapa yang kena tendang karena coba-coba jalan. Setelah sampai perempatan Fatmawati sudah aman, gak ada polisi.

Jalan Fatmawati Raya malam itu lengang banget, tidak ada yang lewat, tidak juga angkot dan metro mini, terpaksa aku jalan kaki ke Blok M, disini aku baru merasakan bahwa keputusan untuk mengirim semua barang bawaan lewat pos siang sebelumnya merupakan keputusan yang tepat. Sampai Blok M sudah jam 2 malam, untung masih ada bis yang ke Pulo Gadung (satu-satunya bis yang ada di terminal malam itu).

Dari Pulo Gadung aku langsung melanjutkan perjalanan ke timur, karena bis malam yang terusan udah gak ada terpaksa dengan cara estafet: Pulo Gadung-Cirebon, Cirebon-Semarang, Semarang-Solo dan Solo-Mojokerto. Menjelang Mahrib sudah sampai kembali di Mojokerto, benar-benar melelahkan perjalanan ini. Tetapi jika dibandingkan dengan kepuasan dan energi yang aku rasakan selama nonton konser itu, segala kelelahan itu gak ada artinya....